SOE HOK GIE DALAM KENANGAN
Caraterbaruku - "Gua akan ulang tahun tanggal 17 Desember, berarti hari Rabu yang jatuh lusa itu, besok kan selasa tanggal 16 Desember. Bagaimana ya, semestinya gua ingin berulang tahun di tanah paling tinggi di Pulau Jawa"
Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti, serta Nessy Luntungan (Ed) dalam Soe Hok Gie Sekali Kembali: Buku, Pesta, serta Cinta di Alam Bangsanya (2009:19), Rudy bercerita dengan detil bagaimana sebelum tragedi itu berlangsung, semua berjalan seakan akan tidak ada peristiwa yang genting.
Rudy memvisualisasikan persiapan perjalanan ke Semeru yang simpel dengan transportasi kereta barang, canda tawa, diskusi sampai perbincangan yang menegang pada Hok Gie serta Herman Lantang, sang pemimpin rombongan masalah tempat bertenda pada malam pertama mendekati pendakian. Hok Gie pilih tinggal di dalam rumah masyarakat sebab fakta rasional untuk mengawasi stamina sebelum lakukan pendakian, Herman dengan modal buku Belanda mengenai tata langkah pendakian ke Semeru, ngotot ingin berkemah di pinggir sungai.
"Hati kecil saya waktu itu sudah sempat ketawa, lihat tingkah laku pentolan Mapala FS-UI demikian egoisnya serta ngotot ingin menang sendiri," kata Rudy. Akan tetapi, Hok Gie sudah sempat berpetuah pada Rudy Badil, permasalahan ketidaksamaan itu masalah berlaku.
Potongan cerita pendakian Hok Gie di Semeru ini memvisualisasikan jika pekerjaan alam bebas bukan masalah gagah-gagahan, tetapi ada bagian bagaimana seorang mesti menantang egoisnya dalam team serta dan beberapa hal terpenting yang lain dari kegiatan alam terbuka. Masalah apakah utamanya naik gunung buat anak muda, Hok Gie, dalam artikel berjudul “Menaklukkan Gunung Slamet” (Zaman Peralihan, 2005; perihal 40-41), sempat menulis:
“Kami ialah manusia-manusia yang tidak yakin pada jargon. Patriotisme mustahil tumbuh dari hipokrisi serta jargon. Seorang cuma bisa menyukai suatu dengan sehat jika dia kenal obyeknya. Serta menyukai tanah air Indonesia bisa ditumbuhkan dengan kenal Indonesia bersama dengan rakyatnya dari dekat. Perkembangan jiwa yang sehat dari pemuda mesti bermakna juga perkembangan fisik yang sehat. Oleh karena itu kami naik gunung.”
Soe Hok Gie ialah salah satunya pendiri organisasi mahasiswa penggemar alam (Mapala). Arti “mapala”, tidak hanya sah jadi nama penggemar alam Kampus Indonesia (Mapala UI), mapala ikut jadi nama yang umum untuk mengacu organisasi mahasiswa penggemar alam di universitas. Di Mapala UI, Gie miliki nomer anggota serupa James Bond dan nomer tahanan Pram: 007.
“Mapala Pradjna Paramita dibangun pada 1964, saat Herman Lantang jadi Ketua Senat (Fakultas Sastra UI). Persahabatan Soe Hok Gie dengan Herman memang dengan diawali terdapatnya kesukaan yang sama, yakni hoby naik gunung, hoby nikmati kehidupan di alam bebas,” catat Luki Sutrisno Bekti dalam buku Soe Hok Gie Sekali Kembali (2009).
Menjadi anggota Mapala, Gie sempat naik gunung Gede di Jawa Barat. Dia ikut teratur naik ke Gunung Salak serta terpenting Pangrango. Lembah Mandalawangi di Pangrango ialah salah satunya titik yang begitu disenangi Gie serta dia abadikan dalam banyak catatan serta sajak. Dia ikut pergi ke Gunung Slamet (3.428 mtr. dpl) di Jawa Tengah serta Gunung Semeru (3.676 mtr. dpl) di Jawa Timur
Di gunung paling akhir itu Gie hirup gas beracun serta tutup umur mendekati satu hari sebelum ulang tahunnya yang ke-27. Gie wafat bersama dengan Idhan Lubis di Puncak Semeru. Mereka meninggal dalam pendakian sebab hirup gas beracun, bukan meninggal sebab jadi korban pendidikan basic (diksar) seperti yang dihadapi tiga peserta Mapala Unisi (Kampus Islam Indonesia) di Tawangmangu, serta diksar yang lain.
Apakah yang berlangsung dengan tiga peserta Diksar Mapala di Jogja itu kelihatannya jauh dari apakah yang dipikirkan Soe Hok Gie menjadi salah satunya pendiri Mapala. Dia manusia yang bahkan juga begitu tidak suka pada acara jenis Ospek, atau perpeloncoan, yang terlalu mengagungkan senioritas. Gie ialah manusia merdeka, dengan pikiran bebas, yang tentu saja tidak akan suka pada semua praktek perpeloncoan.
Gunung, buat Gie, bukan tempat bermain-main kekuasaan. Kepemimpinan dalam satu ekspedisi alam jelas tidak terhindar, akan tetapi kepemimpinan itu diniscayakan oleh kondisi di lapangan oleh sebab rumor keselamatan (safety first). Hukuman fisik sebetulnya perihal biasa dalam kursus, akan tetapi baiknya itu dikasihkan untuk mendidik, bukan untuk menyatakan otoritas serta kekuasaan senior. Terpenting dikasihkan saat peserta telah mulai membahayakan diri pribadi serta rekan-rekannya.
Itu juga tidak dapat dikerjakan asal-asalan. “Untuk cara mendidik, masalahnya ada yang mengambil style militer, tetapi tidak tahu ada ukurannya, tidak paham bagian hukumannya, tahapannya seperti apakah,” kata Galih Donikara, salah satunya anggota senior Wanadri, memvisualisasikan proses pendidikan di Wanadri atau pekerjaan alam bebas (lebih komplet bagaimana Wanadri lakukan pendidikan basic.
“Bagi Gie gunung bukan hanya pelepas depresi. Tetapi, gunung ialah tempat untuk menguji kepribadian serta keteguhan hati seorang. Dalam tempat yang jauh dari semua sarana serta penuh kesusahan orang yang alami ujian, apa ia selfish (yang cuma pikirkan dianya) atau orang yang ingin pikirkan orang yang lain,” catat Stanley dalam penutup buku himpunan tulisan Soe Hok Gie, Jaman Peralihan.
Dalam sejarahnya, Mapala UI lahir saat politik universitas di tahun 1964 mulai tidak sehat. Sama tidak sehatnya dengan dunia sosial media di waktu saat ini. Orang jenis Gie pada akhirnya berinisiatif membuat acara tonton film serta naik gunung bersama dengan kawan-kawan di kampusnya. Maksudnya tidak lainnya supaya tidak terjerat dalam politik universitas yang mengakibatkan kerusakan jalinan persahabatan. Organisasi tambahan saat itu ikut sama berbahayanya dengan sosial media di waktu saat ini. Punya potensi mengakibatkan kerusakan bersilahturahmi serta persahabatan.
“Di dalam universitas, Soe Hok Gie menampik kedatangan organisasi tambahan kemahasiswaan yang disebut onderbouw partai-partai. Penolakan bukan tiada karena. Organisasi-organisasi ini tetap merebutkan tempat di Senat Mahasiswa yang ialah organisasi intra universiter,” catat Luki Sutrisno Bekti. “Mapala UI, sampai saat ini berdasar teguh pada prinsip awal, yaitu menampik organisasi tambahan universitas di almamaternya.”
Saat itu, banyak organisasi-organisasi mahasiswa tambahan yang bertanding di universitas. Seperti Central Pergerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), Pergerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang dekat dengan Partai Nasional Indonesia (PNI), ada yang share keagamaan jenis Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Pergerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) serta Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Organisasi paling akhir sebenarnya dekat Masyumi yang telah digulung Sukarno. Mujur seseorang Kristen bernama Johannes Leimena menghambat pembubaran HMI.
Gie ialah saksi bagaimana HMI serta GMNI bertikai di universitas. Di waktu Orde Lama, CGMI serta GMNI ialah yang sangat gemar ingin kuasai universitas, sesaat HMI tertekan. Sesudah Orde Baru mulai berjaya, HMI semakin kuat. Bahkan juga menggantikan Dewan Mahasiswa UI.
Dalam film Gie (2005), tergambar bagaimana satu debat antar mahasiswa dengan latar belakang organisasi tambahan berlainan, dapat bersambung pada perkelahian. Begitu runyamnya universitas bila kebutuhan organisasi tambahan dibawa masuk. Bukan rahasia kembali bila banyak pengurus BEM saat ini ialah beberapa orang dari organisasi tambahan. Mereka cuma malas mengaku.
Dengan keadaan saat ini yang polarisasinya memperingatkan pada jaman saat Gie serta kawan-kawannya membuat Mapala UI 12 Desember 1964. Gunung harusnya jadi tempat pilihan untuk masih waras. Mari naik gunung seperti Soe Hok Gie, serta kawan-kawannya, dengan prinsip keselamatan yang penting. Akan tetapi, naik gunung janganlah untuk mati muda seperti yang sempat ditulis Hok Gie dalam catatan hariannya. “Seorang filsuf Yunani sempat berkata jika nasib terunggul ialah tidak dilahirkan, yang ke-2 dilahirkan tetapi mati muda, serta tersial ialah usia tua”
Caraterbaruku - Walau Hok Gie mati muda, dia sudah berpesan bagaimana seseorang anak muda berlaku berkelanjutan di dalam pragmatisme. Sebelum pergi ke Gunung Semeru, Hok Gie sudah sempat mengirim semua anggota DPR paket lipstik serta bedak. Itu menjadi sindiran supaya rekan-rekan lama aktivis universitas yang telah jadi anggota DPR terlihat cantik di mata pemerintah. Hok Gie sedih pada rekan-rekan seperjuangan yang dipandang sudah melupakan perjuangan, serta sindiran ini masih tetap berkaitan di saat ini.
SOE HOK GIE DALAM KENANGAN
soe hok gie dalam kenangan |
Perkenalan dengan Gunung
Perkataan Soe Hok Gie di dalam tujuh partnernya satu malam yang cerah di lereng Gunung Semeru, 49 tahun kemarin jadi daya ingat yang membekas Rudy Badil. Rudy salah satunya mahasiswa Hok Gie yang turut sisi dalam pendakian bersejarah, waktu Hok Gie serta Idhan Lubis yang meregang nyawa di Puncak Semeru, satu hari sebelum ulang tahun Hok Gie, pada 16 Desember 1969.Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti, serta Nessy Luntungan (Ed) dalam Soe Hok Gie Sekali Kembali: Buku, Pesta, serta Cinta di Alam Bangsanya (2009:19), Rudy bercerita dengan detil bagaimana sebelum tragedi itu berlangsung, semua berjalan seakan akan tidak ada peristiwa yang genting.
Rudy memvisualisasikan persiapan perjalanan ke Semeru yang simpel dengan transportasi kereta barang, canda tawa, diskusi sampai perbincangan yang menegang pada Hok Gie serta Herman Lantang, sang pemimpin rombongan masalah tempat bertenda pada malam pertama mendekati pendakian. Hok Gie pilih tinggal di dalam rumah masyarakat sebab fakta rasional untuk mengawasi stamina sebelum lakukan pendakian, Herman dengan modal buku Belanda mengenai tata langkah pendakian ke Semeru, ngotot ingin berkemah di pinggir sungai.
"Hati kecil saya waktu itu sudah sempat ketawa, lihat tingkah laku pentolan Mapala FS-UI demikian egoisnya serta ngotot ingin menang sendiri," kata Rudy. Akan tetapi, Hok Gie sudah sempat berpetuah pada Rudy Badil, permasalahan ketidaksamaan itu masalah berlaku.
Potongan cerita pendakian Hok Gie di Semeru ini memvisualisasikan jika pekerjaan alam bebas bukan masalah gagah-gagahan, tetapi ada bagian bagaimana seorang mesti menantang egoisnya dalam team serta dan beberapa hal terpenting yang lain dari kegiatan alam terbuka. Masalah apakah utamanya naik gunung buat anak muda, Hok Gie, dalam artikel berjudul “Menaklukkan Gunung Slamet” (Zaman Peralihan, 2005; perihal 40-41), sempat menulis:
“Kami ialah manusia-manusia yang tidak yakin pada jargon. Patriotisme mustahil tumbuh dari hipokrisi serta jargon. Seorang cuma bisa menyukai suatu dengan sehat jika dia kenal obyeknya. Serta menyukai tanah air Indonesia bisa ditumbuhkan dengan kenal Indonesia bersama dengan rakyatnya dari dekat. Perkembangan jiwa yang sehat dari pemuda mesti bermakna juga perkembangan fisik yang sehat. Oleh karena itu kami naik gunung.”
Soe Hok Gie ialah salah satunya pendiri organisasi mahasiswa penggemar alam (Mapala). Arti “mapala”, tidak hanya sah jadi nama penggemar alam Kampus Indonesia (Mapala UI), mapala ikut jadi nama yang umum untuk mengacu organisasi mahasiswa penggemar alam di universitas. Di Mapala UI, Gie miliki nomer anggota serupa James Bond dan nomer tahanan Pram: 007.
“Mapala Pradjna Paramita dibangun pada 1964, saat Herman Lantang jadi Ketua Senat (Fakultas Sastra UI). Persahabatan Soe Hok Gie dengan Herman memang dengan diawali terdapatnya kesukaan yang sama, yakni hoby naik gunung, hoby nikmati kehidupan di alam bebas,” catat Luki Sutrisno Bekti dalam buku Soe Hok Gie Sekali Kembali (2009).
Menjadi anggota Mapala, Gie sempat naik gunung Gede di Jawa Barat. Dia ikut teratur naik ke Gunung Salak serta terpenting Pangrango. Lembah Mandalawangi di Pangrango ialah salah satunya titik yang begitu disenangi Gie serta dia abadikan dalam banyak catatan serta sajak. Dia ikut pergi ke Gunung Slamet (3.428 mtr. dpl) di Jawa Tengah serta Gunung Semeru (3.676 mtr. dpl) di Jawa Timur
Di gunung paling akhir itu Gie hirup gas beracun serta tutup umur mendekati satu hari sebelum ulang tahunnya yang ke-27. Gie wafat bersama dengan Idhan Lubis di Puncak Semeru. Mereka meninggal dalam pendakian sebab hirup gas beracun, bukan meninggal sebab jadi korban pendidikan basic (diksar) seperti yang dihadapi tiga peserta Mapala Unisi (Kampus Islam Indonesia) di Tawangmangu, serta diksar yang lain.
Apakah yang berlangsung dengan tiga peserta Diksar Mapala di Jogja itu kelihatannya jauh dari apakah yang dipikirkan Soe Hok Gie menjadi salah satunya pendiri Mapala. Dia manusia yang bahkan juga begitu tidak suka pada acara jenis Ospek, atau perpeloncoan, yang terlalu mengagungkan senioritas. Gie ialah manusia merdeka, dengan pikiran bebas, yang tentu saja tidak akan suka pada semua praktek perpeloncoan.
Gunung, buat Gie, bukan tempat bermain-main kekuasaan. Kepemimpinan dalam satu ekspedisi alam jelas tidak terhindar, akan tetapi kepemimpinan itu diniscayakan oleh kondisi di lapangan oleh sebab rumor keselamatan (safety first). Hukuman fisik sebetulnya perihal biasa dalam kursus, akan tetapi baiknya itu dikasihkan untuk mendidik, bukan untuk menyatakan otoritas serta kekuasaan senior. Terpenting dikasihkan saat peserta telah mulai membahayakan diri pribadi serta rekan-rekannya.
Itu juga tidak dapat dikerjakan asal-asalan. “Untuk cara mendidik, masalahnya ada yang mengambil style militer, tetapi tidak tahu ada ukurannya, tidak paham bagian hukumannya, tahapannya seperti apakah,” kata Galih Donikara, salah satunya anggota senior Wanadri, memvisualisasikan proses pendidikan di Wanadri atau pekerjaan alam bebas (lebih komplet bagaimana Wanadri lakukan pendidikan basic.
Tempat terakhir di Gunung
Sayang sekali bila gunung jadi tempat penyiksaan. Harusnya gunung jadi tempat mencari kebahagiaan sekalian membuatnya tempat berefleksi serta belajar, tentunya tiada kekerasan.“Bagi Gie gunung bukan hanya pelepas depresi. Tetapi, gunung ialah tempat untuk menguji kepribadian serta keteguhan hati seorang. Dalam tempat yang jauh dari semua sarana serta penuh kesusahan orang yang alami ujian, apa ia selfish (yang cuma pikirkan dianya) atau orang yang ingin pikirkan orang yang lain,” catat Stanley dalam penutup buku himpunan tulisan Soe Hok Gie, Jaman Peralihan.
Dalam sejarahnya, Mapala UI lahir saat politik universitas di tahun 1964 mulai tidak sehat. Sama tidak sehatnya dengan dunia sosial media di waktu saat ini. Orang jenis Gie pada akhirnya berinisiatif membuat acara tonton film serta naik gunung bersama dengan kawan-kawan di kampusnya. Maksudnya tidak lainnya supaya tidak terjerat dalam politik universitas yang mengakibatkan kerusakan jalinan persahabatan. Organisasi tambahan saat itu ikut sama berbahayanya dengan sosial media di waktu saat ini. Punya potensi mengakibatkan kerusakan bersilahturahmi serta persahabatan.
“Di dalam universitas, Soe Hok Gie menampik kedatangan organisasi tambahan kemahasiswaan yang disebut onderbouw partai-partai. Penolakan bukan tiada karena. Organisasi-organisasi ini tetap merebutkan tempat di Senat Mahasiswa yang ialah organisasi intra universiter,” catat Luki Sutrisno Bekti. “Mapala UI, sampai saat ini berdasar teguh pada prinsip awal, yaitu menampik organisasi tambahan universitas di almamaternya.”
Saat itu, banyak organisasi-organisasi mahasiswa tambahan yang bertanding di universitas. Seperti Central Pergerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), Pergerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang dekat dengan Partai Nasional Indonesia (PNI), ada yang share keagamaan jenis Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Pergerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) serta Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Organisasi paling akhir sebenarnya dekat Masyumi yang telah digulung Sukarno. Mujur seseorang Kristen bernama Johannes Leimena menghambat pembubaran HMI.
Gie ialah saksi bagaimana HMI serta GMNI bertikai di universitas. Di waktu Orde Lama, CGMI serta GMNI ialah yang sangat gemar ingin kuasai universitas, sesaat HMI tertekan. Sesudah Orde Baru mulai berjaya, HMI semakin kuat. Bahkan juga menggantikan Dewan Mahasiswa UI.
Dalam film Gie (2005), tergambar bagaimana satu debat antar mahasiswa dengan latar belakang organisasi tambahan berlainan, dapat bersambung pada perkelahian. Begitu runyamnya universitas bila kebutuhan organisasi tambahan dibawa masuk. Bukan rahasia kembali bila banyak pengurus BEM saat ini ialah beberapa orang dari organisasi tambahan. Mereka cuma malas mengaku.
Dengan keadaan saat ini yang polarisasinya memperingatkan pada jaman saat Gie serta kawan-kawannya membuat Mapala UI 12 Desember 1964. Gunung harusnya jadi tempat pilihan untuk masih waras. Mari naik gunung seperti Soe Hok Gie, serta kawan-kawannya, dengan prinsip keselamatan yang penting. Akan tetapi, naik gunung janganlah untuk mati muda seperti yang sempat ditulis Hok Gie dalam catatan hariannya. “Seorang filsuf Yunani sempat berkata jika nasib terunggul ialah tidak dilahirkan, yang ke-2 dilahirkan tetapi mati muda, serta tersial ialah usia tua”
Caraterbaruku - Walau Hok Gie mati muda, dia sudah berpesan bagaimana seseorang anak muda berlaku berkelanjutan di dalam pragmatisme. Sebelum pergi ke Gunung Semeru, Hok Gie sudah sempat mengirim semua anggota DPR paket lipstik serta bedak. Itu menjadi sindiran supaya rekan-rekan lama aktivis universitas yang telah jadi anggota DPR terlihat cantik di mata pemerintah. Hok Gie sedih pada rekan-rekan seperjuangan yang dipandang sudah melupakan perjuangan, serta sindiran ini masih tetap berkaitan di saat ini.
0 Response to "SOE HOK GIE DALAM KENANGAN"
Post a Comment